Rabu, 02 Juli 2014

Gua Buniayu : Perut Siluman yang Sedang Tidur

          “Hei bleseuk, hati-hati atuh. Ulah ngalamun!” tegur salah satu seniorku di dalam yang ikut dalam penelusuran Gua Buniayu. Setelah kejadian tadi, teguran tersebut selanjutnya yang membuyarkan lamunanku kemudian menyadari bahwa aku sedang berada jauh dari muka tanah, tempat yang disebut kegelapan abadi, gua.
Gua Buniayu, Mulut Siluman
Dalam kondisi bersih, satu per satu dari kami mulai menuruni sumur sedalam18 meter tersebut. Hanya dengan simpulan tali yang dipasang pada tubuh, kami diulur kebawah, hitungan detik sudah mencapai dasar gua. Lubang tersebut dinamai lubang ngorok (karena ketika angin melewati mulut gua akan terdengar suara khas orang tidur). Lubang itulah yang mengantarkan kami keperut siluman yang lazim disebut Gua Buniayu.
Gua kapur aktif ini berada di Desa Kertaangsana, Kabupaten Sukabumi,  letaknya berdekatan dengan air terjun Bibijilan yang sudah cukup populer. Dari pusat Kota Sukabumi, perlu waktu sekitar satu jam dengan kendaraan pribadi. Disebut Gua Siluman karena sebelum menjadi tempat wisata, tempat tersebut digunakan sebagai tempat meditasi juga sebagai tempat ritual pembuangan setan.
Pak Iwan si kuncen gua
Ber-delapan, kami mencoba ijin menelusuri gua tersebut. Ternyata walaupun salah seorang senior cukup sering bermain disini, bahkan kenal dekat dengan pemandunya yaitu Pak Iwan, tetap saja sulit untuk bernegosiasi untuk menelusur. Setelah ditanyai, penyebabnya karena sebulan lalu beliau baru saja mengalami kejadian buruk di dalam gua tersebut bersama satu pengunjung lainnya. Ketika mereka sedang penelusuran, belum sampai setengah perjalanan hujan turun dengan derasnya sampai membuat gua tergenang. Sekat tipis dengan kematian dapat dirasakannya.
Berpegangan kuat pada ornamen gua dan meminimalisir pergerakan serta berdoa, hanya itu yang dapat dilakukan. Untungnya, penjaga pos menyadari hal tersebut. Melihat hujan yang turun cukup deras, secara cepat mereka mulai melakukan penyeamatan. Alhasil, dengan waktu yang cukup lama keduanya keluar dengan selamat. Musim hujan merupakan jadwal yang tidak disarankan untuk melakukan kegiatan penelusuran gua.
Tetapi, karena senior yang cukup lihai membaca cuaca dari keawanan dan lainnya, sehingga bersikukuh ingin menelusuri. Mempertimbangkan hal tersebut, Pak Iwan akhirnya menyetujui untuk memandu ke Gua Buniayu.
Siluman yang sedang tidur
Ketika melakukan langkah awal di dalam gua, saya mulai menyesuaikan penglihatan. Dengan cahaya headlamp, saya melihat-lihat keadaan gua. Walaupun dengan cahaya seminim itu, saya dapat melihat ciptaan Tuhan yang maha indah. Kanopi, stalagtit, stalagmit, flowstones dan ornamen gua lainnya yang memantulkan kilau lewat tetesan air membuat mata ini tidak bosan-bosannya melihat sekeliling, membuat hati ini tidak henti-hentinya mengucap syukur. Tidak jauh dari tempat saya turun, saya mulai mendengar suara gemuruh yaitu suara sungai karst.
Bau guano (sebutan untuk kotoran kelelawar) yang menyengat mulai tercium dari kejauhan. Akhirnya kami tiba dimana sumber bau tersebut, guano itu ada di bawah pijakan dan ketika menengadah ke atas, tampaklah barisan acak para kelelawar yang sedang tidur menggantung. Sementara sang lalay (sunda: kelelawar) sedang tertidur, hewan lainnya berupa jangkrik, kelabang dan lainnya sedang asyiknya bermain di dinding-dinding gua.
Mungkin siluman ini sedang tertidur, apabila dia terbangun nanti mungkin dia akan langsung minum dan sejumlah air akan masuk lewat tenggorokannya hingga menghampiri kami yang sedang menginjaki perutnya. Saya berkata demikian karena ketika melewati sebuah lorong gua, ada sampah berupa ranting kecil yang tersangkut di beberapa ornamen gua yang ketinggiannya melebihi tinggi saya yang sekitar 1,53cm. Ketakutan akan kegelapan tidak ada apa-apanya dibanding dengan ketakutan akan air bah tersebut, jadi teringat akan cerita Pak Iwan.
Larut dalam bayangan tersebut, ketika sedang dihadapkan pada medan yang ngarai, saya sempat terpeleset dan menghantam dinding gua. Untungnya saya sempat berpegang pada tali yang telah terpasang sebelumnya di rekahan gua dan pemandu dengan cekatan menarik kaki saya. Tangan yang berpegang pada tali juga menghantam bagian dinding gua yang kasar, sehingga menghasilkan luka gores. Memang tidak jauh dari tempat saya menggantung ke dasar gua, hanya sekitar 1,5m. Tetapi apa yang terjadi nanti jika saya tidak dapat melanjutkan perjalanan dengan baik, sementara medan yang jauh lebih parah dari ini masih banyak menunggu di depan sana. Lalai! Musuh utama di dalam sini.
Sepanjang penelusuran, ada beberapa rekahan yang akibat proses pelarutan membelah gua menjadi semacam jurang. Apabila tidak hati-hati, medan yang berlumpur dapat memasukkan pengunjung kedalamnya. Banyak lorong-lorong yang kami lewati, mungkin kalau kami masuk, lorong-lorong tersebut masih panjang. Semakin ke dalam, semakin banyak ornamen unik yang kami dapati. Ornamen gua tidak boleh dirusak. Bahkan disentuh pun jangan! Karena ornamen aktif yang terbentuk ribuan bahkan jutaan tahun dapat mati oleh sentuhan tangan hanya dalam hitungan detik karena mengandung zat yang dapat mengganggu karstisifikasi nya. Sebenarnya, kita masuk saja ke dalam gua sudah mengganggu ekosistem gua karena panas yang dihasilkan oleh tubuh kita berbeda dengan di dalam gua. Jadi, jangan kaget ketika melihat ada kabut tipis yang keluar dari pori-pori kulit kita. Tetapi untuk pembelajaran, dan tujuan baik lainnya kita dapat masuk ke dalam gua, jadi kita jangan menambahkan kerusakan lainnya di gua.
2.200meter, 2,5jam
Kali ini kami dihadapkan pada zona berlumpur sepanjang 500m. Zona inilah yang mengantarkan kita ke pintu keluar gua, dan merupakan zona yang paling berat. Betapa tidak, lumpur yang dalamnya mencapai paha membuat kami terjebak. Berat beban kami membuat semakin terperosok ke dalamnya, sehingga kami harus rela melepas boot agar dapat melangkah karena kekentalan lumpr membuat boot dengan mulus masuk.
Berbagai macam gaya dilakukan untuk memperpanjang langkah, menempel pada dinding gua, memanjat mencari rekahan pada dinding, merangkak di lorong yang sempit, tengkurap di dasar yang terjal dan berlumpur, tidur dan hanya menggerakkan siku serta tumit kaki di celah diagonal yang sempit, terkadang juga meloncat untuk menggapai pegangan.
Setelah 2,5jam, akhirnya kami tiba di sebuah tangga kayu sekitar 2,5 meter yang menjadi pijakan menuju tangga-tangga semen selanjutnya di mulut gua. Setelah melewati tangga tersebut, akhirnya kita melihat seberkas cahaya di kejauhan yang mengingatkan pada salah satu kepuasan caver, yaitu pertama kali melihat sinar setelah menyusuri gua. Di bawah sinar matahari, terlihat jelas lusuh dan kotornya pakaian kami.

Lelah langsung terbayar dengan memanjakan diri di air terjun Bibijilan yang. Selagi asyik membersihkan diri, hujan langsung saja turun begitu derasnya, tidak terbayang apabila kami saat ini masih di dalam gua. Apakah kami dapat keluar hidup-hidup seperti Pak Iwan dan pengunjung tersebut?

Sebelum menelusuri Gua Siluman

jalan menuju gua


masuk ke lubang ngorok

Lorong sempit Gua Siluman

Medan ngarai

ornamen gua

sedang menelusur

ornamen unik

sesudah penelusuran

0 komentar:

Posting Komentar