“Hei bleseuk,
hati-hati atuh. Ulah ngalamun!” tegur salah satu seniorku di dalam yang
ikut dalam penelusuran Gua Buniayu. Setelah kejadian tadi, teguran tersebut
selanjutnya yang membuyarkan lamunanku kemudian menyadari bahwa aku sedang
berada jauh dari muka tanah, tempat yang disebut kegelapan abadi, gua.
Gua Buniayu, Mulut Siluman
Dalam kondisi
bersih, satu per satu dari kami mulai menuruni sumur sedalam18 meter tersebut.
Hanya dengan simpulan tali yang dipasang pada tubuh, kami
diulur kebawah, hitungan detik sudah mencapai dasar gua. Lubang tersebut
dinamai lubang ngorok (karena ketika
angin melewati mulut gua akan terdengar suara khas orang tidur). Lubang itulah yang
mengantarkan kami keperut siluman yang lazim disebut Gua Buniayu.
Gua kapur aktif
ini berada di Desa Kertaangsana, Kabupaten Sukabumi, letaknya berdekatan dengan air terjun Bibijilan
yang sudah cukup populer. Dari pusat Kota Sukabumi, perlu waktu sekitar satu
jam dengan kendaraan pribadi. Disebut Gua Siluman karena sebelum menjadi tempat wisata, tempat tersebut digunakan sebagai tempat meditasi juga
sebagai tempat ritual pembuangan setan.
Pak Iwan si kuncen gua
Ber-delapan, kami
mencoba ijin menelusuri gua tersebut. Ternyata walaupun salah seorang senior
cukup sering bermain disini, bahkan kenal dekat dengan pemandunya yaitu Pak
Iwan, tetap saja sulit untuk bernegosiasi untuk menelusur. Setelah ditanyai, penyebabnya
karena sebulan lalu beliau baru saja mengalami kejadian buruk di dalam gua
tersebut bersama satu pengunjung lainnya. Ketika mereka sedang penelusuran, belum
sampai setengah perjalanan hujan turun dengan derasnya sampai membuat gua
tergenang. Sekat tipis dengan kematian dapat dirasakannya.
Berpegangan
kuat pada ornamen gua dan meminimalisir pergerakan serta berdoa, hanya itu yang
dapat dilakukan. Untungnya, penjaga pos menyadari hal tersebut. Melihat hujan
yang turun cukup deras, secara cepat mereka mulai melakukan penyeamatan.
Alhasil, dengan waktu yang cukup lama keduanya keluar dengan selamat. Musim
hujan merupakan jadwal yang tidak disarankan untuk melakukan kegiatan penelusuran
gua.
Tetapi, karena
senior yang cukup lihai membaca cuaca dari keawanan dan lainnya, sehingga
bersikukuh ingin menelusuri. Mempertimbangkan hal tersebut, Pak Iwan akhirnya
menyetujui untuk memandu ke Gua Buniayu.
Siluman yang sedang tidur
Ketika
melakukan langkah awal di dalam gua, saya mulai menyesuaikan penglihatan.
Dengan cahaya headlamp, saya
melihat-lihat keadaan gua. Walaupun dengan cahaya seminim itu, saya dapat
melihat ciptaan Tuhan yang maha indah. Kanopi, stalagtit, stalagmit, flowstones dan ornamen gua lainnya yang
memantulkan kilau lewat tetesan air membuat mata ini tidak bosan-bosannya
melihat sekeliling, membuat hati ini tidak henti-hentinya mengucap syukur. Tidak
jauh dari tempat saya turun, saya mulai mendengar suara gemuruh yaitu suara sungai karst.
Bau guano (sebutan untuk kotoran kelelawar) yang
menyengat mulai tercium dari kejauhan. Akhirnya kami tiba dimana sumber bau
tersebut, guano itu ada di bawah pijakan dan ketika menengadah ke atas,
tampaklah barisan acak para kelelawar yang sedang tidur menggantung. Sementara
sang lalay (sunda: kelelawar) sedang
tertidur, hewan lainnya berupa jangkrik, kelabang dan lainnya sedang asyiknya
bermain di dinding-dinding gua.
Mungkin
siluman ini sedang tertidur, apabila dia terbangun nanti mungkin dia akan
langsung minum dan sejumlah air akan masuk lewat tenggorokannya hingga menghampiri
kami yang sedang menginjaki perutnya. Saya berkata demikian karena ketika
melewati sebuah lorong gua, ada sampah berupa ranting kecil yang tersangkut di
beberapa ornamen gua yang ketinggiannya melebihi tinggi saya yang sekitar
1,53cm. Ketakutan akan kegelapan tidak ada apa-apanya dibanding dengan
ketakutan akan air bah tersebut, jadi teringat akan cerita Pak Iwan.
Larut dalam
bayangan tersebut, ketika sedang dihadapkan pada medan yang ngarai, saya sempat
terpeleset dan menghantam dinding gua. Untungnya saya sempat berpegang pada tali yang telah terpasang sebelumnya di
rekahan gua dan pemandu dengan cekatan menarik kaki saya. Tangan yang berpegang
pada tali juga menghantam bagian dinding gua yang kasar, sehingga menghasilkan
luka gores. Memang tidak jauh dari tempat saya menggantung ke dasar gua, hanya
sekitar 1,5m. Tetapi apa yang terjadi nanti jika saya tidak dapat melanjutkan
perjalanan dengan baik, sementara medan yang jauh lebih parah dari ini masih
banyak menunggu di depan sana. Lalai! Musuh utama di dalam sini.
Sepanjang penelusuran,
ada beberapa rekahan yang akibat proses pelarutan membelah gua menjadi semacam
jurang. Apabila tidak hati-hati, medan yang berlumpur dapat memasukkan
pengunjung kedalamnya. Banyak lorong-lorong yang kami lewati, mungkin kalau
kami masuk, lorong-lorong tersebut masih panjang. Semakin ke dalam, semakin
banyak ornamen unik yang kami dapati. Ornamen gua tidak boleh dirusak. Bahkan
disentuh pun jangan! Karena ornamen aktif yang terbentuk ribuan bahkan jutaan
tahun dapat mati oleh sentuhan tangan hanya dalam hitungan detik karena
mengandung zat yang dapat mengganggu karstisifikasi nya. Sebenarnya,
kita masuk saja ke dalam gua sudah mengganggu ekosistem gua karena panas yang
dihasilkan oleh tubuh kita berbeda dengan di dalam gua. Jadi, jangan kaget
ketika melihat ada kabut tipis yang keluar dari pori-pori kulit kita. Tetapi
untuk pembelajaran, dan tujuan baik lainnya kita dapat masuk ke dalam gua, jadi
kita jangan menambahkan kerusakan lainnya di gua.
2.200meter, 2,5jam
Kali ini kami
dihadapkan pada zona berlumpur sepanjang 500m. Zona inilah yang mengantarkan
kita ke pintu keluar gua, dan merupakan zona yang paling berat. Betapa tidak,
lumpur yang dalamnya mencapai paha membuat kami terjebak. Berat beban kami membuat
semakin terperosok ke dalamnya, sehingga kami harus rela melepas boot agar
dapat melangkah karena kekentalan lumpr membuat boot dengan mulus masuk.
Berbagai macam
gaya dilakukan untuk memperpanjang langkah, menempel pada dinding gua, memanjat
mencari rekahan pada dinding, merangkak di lorong yang sempit, tengkurap di
dasar yang terjal dan berlumpur, tidur dan hanya menggerakkan siku serta tumit
kaki di celah diagonal yang sempit, terkadang juga meloncat untuk menggapai
pegangan.
Setelah
2,5jam, akhirnya kami tiba di sebuah tangga kayu sekitar 2,5 meter yang menjadi
pijakan menuju tangga-tangga semen selanjutnya di mulut gua. Setelah melewati
tangga tersebut, akhirnya kita melihat seberkas cahaya di kejauhan yang
mengingatkan pada salah satu kepuasan caver,
yaitu pertama kali melihat sinar setelah menyusuri gua. Di bawah sinar
matahari, terlihat jelas lusuh dan kotornya pakaian kami.
Lelah langsung
terbayar dengan memanjakan diri di air terjun Bibijilan yang. Selagi asyik
membersihkan diri, hujan langsung saja turun begitu derasnya, tidak terbayang
apabila kami saat ini masih di dalam gua. Apakah kami dapat keluar hidup-hidup
seperti Pak Iwan dan pengunjung tersebut?
![]() |
Sebelum menelusuri Gua Siluman |
![]() |
jalan menuju gua |
![]() |
masuk ke lubang ngorok |
![]() |
Lorong sempit Gua Siluman |
![]() |
Medan ngarai |
![]() |
ornamen gua |
![]() |
sedang menelusur |
![]() |
ornamen unik |
![]() |
sesudah penelusuran |
0 komentar:
Posting Komentar