Ikan, mau sembunyi kemana?

Terumbu karang seakan menari, ikan terbawa arus tenang, indah sekali di dalam laut.

Senja Karimunjawa

Dari dermaga, puas melihat senja. Dari dermaga juga terlihat perahu berlalu-lalang.

Langit Jayagiri

Duduk di bumi perkemahan Jayagiri ditemani bintang yang terlihat malu-malu, dan cahaya lampu bumi Lembang.

Milky Way

Kumpulan jutaan bintang yang membentuk lintasan susu, Milky Way.

Indonesia itu Negara Kepulauan

Menuju pulau indah, bersih dan ramah.

Kamis, 24 Juli 2014

Tongkat Kayu dan Tongkat Air di Rumah Galuh

    
Dengan peralatan terlengkap, aku bersama kakak ku mencoba mengunjungi daerah di belahan Sumatera Utara lainnya di hari kedua ku di Medan setelah pulang kampung dari liburan kuliah.Ala-ala backpacker, dengan cariel sebagai bebanku sementara kakak ku sendiri hanya membawa tas kamera, ya maklum saja walaupun lebih tua tetap aku yang harus membawa beban paling banyak karena badannya yang lebih kecil dari aku. Untuk membawa dirinya saja berjalan lebih lama itu sudah cukup meringankan aku. Maklum saja, dia baru kali ini melakukan perjalanan seperti ini. 
Kami berdua, dan kami tidak tau persis tempat yang akan kami tuju.Kami tertarik ke tempat itu karena foto yang ditunjukin oleh teman dan karena nama daerahnya tidak jauh dari tempat kami (Medan) maka langsung aja cuss kesitu. Sekali lagi. Aku harus berterima kasih banyak pada teknologi yang kian canggih di jaman ini, dengan adanya internet kami bisa mencapai tempat yang kami tuju. Singkatnya, kami dapat nomor Pemandu daerah tersebut di salah satu halaman web, untungnya nomor tersebut masih aktif padahal catatan yang kulihat tersebut merupakan catatan 2 tahun silam. 
Nomor yang dituju dengan cepat merespon, malah menghubungi kami langsung. Jadilah kami tau rute angkot dan kendaraan umum yang harus kami naiki. Dari Medan kita harus naik angkutan menuju Pinang Baris kemudian naiklah angkot menuju Binjai dengan membayar Rp 7.000,-/org sampai di Binjai tepatnya di tanah lapang disebutnya jalan kaki atau bisa naik angkot menuju Pasar Bawah dengan membayar Rp 2.000,-/org. Dari situlah kemudian kami naik angkot berbentuk jenis L300 yang merupakan kendaraan terakhir menuju Desa Rumah Galuh dengan tarif Rp 10.000,-/org karena jarak tempuh menuju desa tersebut memang jauh yakni memakan waktu 2 jam lebih. Setibanya di tempat, kami pun disambut hangat oleh Bang Wanda yang merupakan anggota dari komunitas Pemandu Alam Rumah Galuh (PELARUGA) dialah yang kemudian menjadi guide kami untuk mengunjungi tempat tersebut. Bukannya apa-apa butuh guide, cuma di tempat tersebut memang harus menggunakan guide untuk dapat masuk.
Di Desa Rumah Galuh, Kabupaten Langkat Hulu banyak tersembunyi tempat yang ingin sekali ku kunjungi. Semua itu bersumber dari mata air yang membentuk suatu aliran yang kemudian dinamakan Sungai Abadi oleh warga tersebut. Aliran deras yang jatuh berkejaran tersebutlah yang akan kami kunjungi, ya air terjun.
Dijelaskan oleh Bang Wanda ada 3 air terjun yang menjadi primadona wisata di Desa Rumah Galuh, walaupun sebenarnya ada banyak. Ketiganya adalah air terjun Tongkat, air terjun Kolam Abadi dan air terjun Teroh-teroh. Kita dapat memilih mana yang akan kita kunjungi sesuai dengan paket yang diinginkan dan yang pastinya sesuai budget yang telah kita siapkan. Untuk mengunjungi salah satu air terjun maka biasnaya wisatawan dikenakan Rp 20.000/org, namun untuk mengambil paket mengunjungi ketiganya akan ditarif Rp 40.000,-/org. Jadi, karena ingin puas kami sepakat untuk mangambil paket yang kedua.
Bukan jarak yang dekat yang dilampaui untuk menuju air terjun teratas yaitu Tongkat. Guide bercerita bahwa biasanya beliau membawa pengunjung sampai ke tempat tersebut memakan waktu 1 hingga 1,5jam karena memang trekking melewati hutan rakyat dengan medan curam tanjakan dan turunan, jalurnya juga tidak begitu jelas pada tanjakan hanya galian manual masyarakat setempat. Tapi, untungnya kami dapat menempuh lebih cepat. Sekitar 45menit dengan 2 kali istirahat kami sudah tiba di air terjun tongkat daaaan waaaww indahnya. Birunya air berpadu dengan hijaunya tumbuhan yang menghiasi tebing disekeliling air terjun. Langsunglah lega dan menarik nafas panjang kakak ku yang tak terbiasa dengan trekking ini.
Setibanya di tempat tersebut kami langsung menyeduh kopi dengan kompor spiritus yang telah kami siapkan, sementara api memanaskan air, kami dengan asyiknya bermain di bawah libasan air itu.
Kami pun tidak sekedar mandi dan menikmati seduhan kopi dan mi ataupun menikmati durian gratis yang diambil langsung dari ohonnya oleh salah satu guide. Sesi foto pun tiba. Hal ini sudah sangat kami persiapkan dengan membawa dress khusus untuk berfoto, sayang banget ke tempat indah kalau tidak sekalian berpose indah ya kan. Haha. Untuk menghasilkan foto lebih menarik lagi, aku menggunakan lensa 50mm dengan bukaan yang lebih besar sehingga membuat bokeh yang lebih bokeh. Haha.
Setelah puas 2jam lebih bermain di air terjun tongkat, kami pun trekking lagi menuju Kolam Abadi. “Cantik banget. Cantik!” teriak kakakku. Bagaimana tidak, biru airnya itu sudah menyapa langsung dari kejauhan. Waw! Aku juga, baru kali ini melihat sungai sebiru itu. Hampir sebiru laut!
Aliran airnya hanya sekitar 5meter, batu-batu besar menghiasinya, entah kenapa airnya biru, padahal tebing disisinya dihiasi tumbuhan hijau saking lebatnya hingga nyaris menutupi bagian atas. Tapi, gelombang sinar terpanjang yaitu biru mengalahkan warna hijaunya daun, jadi deh Kolam Abadi itu benar-benar blue. Kali ini snorkelingnya tidak ditemani oleh ikan-ikan badut yang mungil seperti di Karimunjawa. Tapi biarlah, yang penting airnya biru jernih dan kerikilnya menghibur walaupun dinginnya air membuat kulit keriput.
Sudah sore. Bahkan terlalu sore untuk melanjutkan perjalanan menuju air terjun Toreh-toreh, karena jarak kami cukup jauh terpaksa kami harus pulang tanpa harus ke air terjun paling bawah tersebut (Toreh-toreh dalam bahasa Batak Karo yang berarti bawah-bawah). Untungnya Bang Wanda bersama temannya siap mengantar kami hingga Medan Kota karena angkutan umum dari Desa Rumah Galuh sudah tidak ada lagi sejak jam 2 tadi siang. Akhirnya kami tiba dengan hati gembira pada pukul 20.00 WIB.

Jangan takut kemana-mana selagi dimana-mana itu masih ada orang :) 

CP PELARUGA Bang Wanda 085370542438

the shoot
cuss

kakak ku Herliana

berfoto di Pasar Bawah Binjai

masih di pasar

tiba di Pelaruga

galian tanah untuk jalur

trekking

si hijau mungil

tangga menuju air terjun tongkat


dilibas air

tongkat kayu dan tongkat air





biru Kolam Abadi



dasar biru kolam abadi




air yang jernih
 

Sabtu, 05 Juli 2014

Milyaran cahaya di Lintasan Susu

Apakah kamu tau jagat raya? Nah, katanya jagat raya itu sangat sangat sangatlah luas, belum ada yang mengetahui batasnya hingga dimana. Bumi adalah salah satu benda di jagat raya yang disebut planet, dan kita (aku, kamu, dia, mereka) adalah sebagian penghuninya. Teringat di mata kuliah pertama ku di Jurusan Geografi UPI, Pengantar Geografi. Pada mata kuliah ini, dibahas apa itu jagat raya. Dan inilah bagan secara rincinya yang dijelaskan oleh Prof. H. Nursid Sumaatmadja.



Tuh, terlihat kan bagian demi bagiannya. Jadi, manusia itu dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa itu bisa dibilang hanya butiran debu, atau lebih kecilnya lagi yaitu atom. Makanya wajar sekali apabila banyak nasehat-nasehat yang berbunyi agar kita tidak menyombongkan diri.
Itu sekilas tentang jagat raya, pokoknya gambaran jagat raya itu adalah suatu ruang yang dipenuhi oleh bermacam-macam benda angkasa mulai dari yang terang bercahaya hingga yang benar-benar gelap. Salah satunya kumpulan bintang-bintang yang terang yang kemudian membentuk suatu gugusan itu adalah galaksi. Terhitung banyak jumlah galaksi di jagat raya, hingga sekarang belum diketahui berapa banyak jumlahnya.
Salah satu galaksi di dunia itu adalah Milky Way. Galaksi Milky way atau di Indonesia dikenal dengan Galaksi Bima Sakti (dalam bahasa Inggris Milky Way, yang berasal dari bahasa Latin Via Lactea, diambil lagi dari bahasa Yunani Î“αλαξίας Galaxias yang berarti "susu") adalah galaksi spiral yang memiliki 200-400 miliar bintang. Di galaksi inilah Bumi berotasi dan berevolusi bersama sekawanannya yang setia menemani di lintasan edarnya masing-masing. Diduga di pusat galaksi bersemayam lubang hitam supermasif (black hole). Sagitarius A dianggap sebagai lokasi lubang hitam supermasif ini.
Di dalam bahasa Indonesia, istilah "Bimasakti" berasal dari tokoh berkulit hitam dalam pewayangan, yaitu Bima. Istilah ini muncul karena orang Jawa kuno melihatnya susunan bintang-bintang yang tersebar di angkasa jika dihubungkan dan ditarik garis akan membentuk gambar Bima dililit ular naga maka disebutlah "Bimasakti". Sementara itu, masyarakat Barat menyebutnya "milky way" sebab mereka melihatnya sebagai pita kabut bercahaya putih yang membentang pada bola langit. Pita kabut atau "aura" cemerlang ini sebenarnya adalah kumpulan jutaan bintang dan juga sevolume besar debu dan gas yang terletak di piringan/bidang galaksi. Pita ini tampak paling terang di sekitar rasi Sagitarius, dan lokasi tersebut memang diyakini sebagai pusat galaksi. (wikipedia)
Melihat keindahan jalan/lintasan susu itu adalah hobiku sejak mulai menggemari kegiatan kemping. Apabila dulu aku hanya bisa menikmatinya hanya sekedar saja, maksudnya tidak serinci dengan yang biasanya kulihat di internet. Karena mata manusia itu terbatas, jadi tidak akan dapat melihat sang Bima lebih menggema. Beda halnya dengan kamera yang kini telah dilengkapi fitur-fitur canggih, sehingga bisa merekam cahaya susu itu jauh lebih indah.
Karena sudah punya, hobi sekarang itu ya bukan sekedar ngeliatin. Tapi mulai motoin :D ya setidaknya untuk dinikmati sendiri, menghibur keterbatasan mata. Coba kalau mata itu bisa dinaikin IS0nya seperti pada kamera, ya bisa saja kita melihat cahaya-cahaya milyaran bintang itu, tapi itu hal yang tidak mungkin!
Dengan pengaturan ISO, Bukaan, dan Shutter Speed kemudian kamera ditempelin pada tripod dengan lensa menganga ke langit. Menunggu sekitar 25detik. Baru muncul hasilnya pada LCD Pentax-ku.
Ini adalah Bima Sakti, Milky Way, dari langit Garut, desa Sindangmekar, tempat KKN-ku :D.

Rabu, 02 Juli 2014

Gua Buniayu : Perut Siluman yang Sedang Tidur

          “Hei bleseuk, hati-hati atuh. Ulah ngalamun!” tegur salah satu seniorku di dalam yang ikut dalam penelusuran Gua Buniayu. Setelah kejadian tadi, teguran tersebut selanjutnya yang membuyarkan lamunanku kemudian menyadari bahwa aku sedang berada jauh dari muka tanah, tempat yang disebut kegelapan abadi, gua.
Gua Buniayu, Mulut Siluman
Dalam kondisi bersih, satu per satu dari kami mulai menuruni sumur sedalam18 meter tersebut. Hanya dengan simpulan tali yang dipasang pada tubuh, kami diulur kebawah, hitungan detik sudah mencapai dasar gua. Lubang tersebut dinamai lubang ngorok (karena ketika angin melewati mulut gua akan terdengar suara khas orang tidur). Lubang itulah yang mengantarkan kami keperut siluman yang lazim disebut Gua Buniayu.
Gua kapur aktif ini berada di Desa Kertaangsana, Kabupaten Sukabumi,  letaknya berdekatan dengan air terjun Bibijilan yang sudah cukup populer. Dari pusat Kota Sukabumi, perlu waktu sekitar satu jam dengan kendaraan pribadi. Disebut Gua Siluman karena sebelum menjadi tempat wisata, tempat tersebut digunakan sebagai tempat meditasi juga sebagai tempat ritual pembuangan setan.
Pak Iwan si kuncen gua
Ber-delapan, kami mencoba ijin menelusuri gua tersebut. Ternyata walaupun salah seorang senior cukup sering bermain disini, bahkan kenal dekat dengan pemandunya yaitu Pak Iwan, tetap saja sulit untuk bernegosiasi untuk menelusur. Setelah ditanyai, penyebabnya karena sebulan lalu beliau baru saja mengalami kejadian buruk di dalam gua tersebut bersama satu pengunjung lainnya. Ketika mereka sedang penelusuran, belum sampai setengah perjalanan hujan turun dengan derasnya sampai membuat gua tergenang. Sekat tipis dengan kematian dapat dirasakannya.
Berpegangan kuat pada ornamen gua dan meminimalisir pergerakan serta berdoa, hanya itu yang dapat dilakukan. Untungnya, penjaga pos menyadari hal tersebut. Melihat hujan yang turun cukup deras, secara cepat mereka mulai melakukan penyeamatan. Alhasil, dengan waktu yang cukup lama keduanya keluar dengan selamat. Musim hujan merupakan jadwal yang tidak disarankan untuk melakukan kegiatan penelusuran gua.
Tetapi, karena senior yang cukup lihai membaca cuaca dari keawanan dan lainnya, sehingga bersikukuh ingin menelusuri. Mempertimbangkan hal tersebut, Pak Iwan akhirnya menyetujui untuk memandu ke Gua Buniayu.
Siluman yang sedang tidur
Ketika melakukan langkah awal di dalam gua, saya mulai menyesuaikan penglihatan. Dengan cahaya headlamp, saya melihat-lihat keadaan gua. Walaupun dengan cahaya seminim itu, saya dapat melihat ciptaan Tuhan yang maha indah. Kanopi, stalagtit, stalagmit, flowstones dan ornamen gua lainnya yang memantulkan kilau lewat tetesan air membuat mata ini tidak bosan-bosannya melihat sekeliling, membuat hati ini tidak henti-hentinya mengucap syukur. Tidak jauh dari tempat saya turun, saya mulai mendengar suara gemuruh yaitu suara sungai karst.
Bau guano (sebutan untuk kotoran kelelawar) yang menyengat mulai tercium dari kejauhan. Akhirnya kami tiba dimana sumber bau tersebut, guano itu ada di bawah pijakan dan ketika menengadah ke atas, tampaklah barisan acak para kelelawar yang sedang tidur menggantung. Sementara sang lalay (sunda: kelelawar) sedang tertidur, hewan lainnya berupa jangkrik, kelabang dan lainnya sedang asyiknya bermain di dinding-dinding gua.
Mungkin siluman ini sedang tertidur, apabila dia terbangun nanti mungkin dia akan langsung minum dan sejumlah air akan masuk lewat tenggorokannya hingga menghampiri kami yang sedang menginjaki perutnya. Saya berkata demikian karena ketika melewati sebuah lorong gua, ada sampah berupa ranting kecil yang tersangkut di beberapa ornamen gua yang ketinggiannya melebihi tinggi saya yang sekitar 1,53cm. Ketakutan akan kegelapan tidak ada apa-apanya dibanding dengan ketakutan akan air bah tersebut, jadi teringat akan cerita Pak Iwan.
Larut dalam bayangan tersebut, ketika sedang dihadapkan pada medan yang ngarai, saya sempat terpeleset dan menghantam dinding gua. Untungnya saya sempat berpegang pada tali yang telah terpasang sebelumnya di rekahan gua dan pemandu dengan cekatan menarik kaki saya. Tangan yang berpegang pada tali juga menghantam bagian dinding gua yang kasar, sehingga menghasilkan luka gores. Memang tidak jauh dari tempat saya menggantung ke dasar gua, hanya sekitar 1,5m. Tetapi apa yang terjadi nanti jika saya tidak dapat melanjutkan perjalanan dengan baik, sementara medan yang jauh lebih parah dari ini masih banyak menunggu di depan sana. Lalai! Musuh utama di dalam sini.
Sepanjang penelusuran, ada beberapa rekahan yang akibat proses pelarutan membelah gua menjadi semacam jurang. Apabila tidak hati-hati, medan yang berlumpur dapat memasukkan pengunjung kedalamnya. Banyak lorong-lorong yang kami lewati, mungkin kalau kami masuk, lorong-lorong tersebut masih panjang. Semakin ke dalam, semakin banyak ornamen unik yang kami dapati. Ornamen gua tidak boleh dirusak. Bahkan disentuh pun jangan! Karena ornamen aktif yang terbentuk ribuan bahkan jutaan tahun dapat mati oleh sentuhan tangan hanya dalam hitungan detik karena mengandung zat yang dapat mengganggu karstisifikasi nya. Sebenarnya, kita masuk saja ke dalam gua sudah mengganggu ekosistem gua karena panas yang dihasilkan oleh tubuh kita berbeda dengan di dalam gua. Jadi, jangan kaget ketika melihat ada kabut tipis yang keluar dari pori-pori kulit kita. Tetapi untuk pembelajaran, dan tujuan baik lainnya kita dapat masuk ke dalam gua, jadi kita jangan menambahkan kerusakan lainnya di gua.
2.200meter, 2,5jam
Kali ini kami dihadapkan pada zona berlumpur sepanjang 500m. Zona inilah yang mengantarkan kita ke pintu keluar gua, dan merupakan zona yang paling berat. Betapa tidak, lumpur yang dalamnya mencapai paha membuat kami terjebak. Berat beban kami membuat semakin terperosok ke dalamnya, sehingga kami harus rela melepas boot agar dapat melangkah karena kekentalan lumpr membuat boot dengan mulus masuk.
Berbagai macam gaya dilakukan untuk memperpanjang langkah, menempel pada dinding gua, memanjat mencari rekahan pada dinding, merangkak di lorong yang sempit, tengkurap di dasar yang terjal dan berlumpur, tidur dan hanya menggerakkan siku serta tumit kaki di celah diagonal yang sempit, terkadang juga meloncat untuk menggapai pegangan.
Setelah 2,5jam, akhirnya kami tiba di sebuah tangga kayu sekitar 2,5 meter yang menjadi pijakan menuju tangga-tangga semen selanjutnya di mulut gua. Setelah melewati tangga tersebut, akhirnya kita melihat seberkas cahaya di kejauhan yang mengingatkan pada salah satu kepuasan caver, yaitu pertama kali melihat sinar setelah menyusuri gua. Di bawah sinar matahari, terlihat jelas lusuh dan kotornya pakaian kami.

Lelah langsung terbayar dengan memanjakan diri di air terjun Bibijilan yang. Selagi asyik membersihkan diri, hujan langsung saja turun begitu derasnya, tidak terbayang apabila kami saat ini masih di dalam gua. Apakah kami dapat keluar hidup-hidup seperti Pak Iwan dan pengunjung tersebut?

Sebelum menelusuri Gua Siluman

jalan menuju gua


masuk ke lubang ngorok

Lorong sempit Gua Siluman

Medan ngarai

ornamen gua

sedang menelusur

ornamen unik

sesudah penelusuran

Selasa, 01 Juli 2014

Kidulan di sepanjang Garut Selatan

“Pantai mah kidulan, bermain lagi kesini lain kali ya Nak!” begitulah ucap Bapak penjaga penginapan tempat mahasiswa Geografi UPI melaksanakan praktikum sebelum kami berangkat pulang kembali menuju Kota Kembang. Disebut kidulan mungkin karena cerita sang Ratu Pantai Selatan yang telah melegenda di sepanjang selatan Pulau Jawa, tetapi aku sendiri belum mengerti maksud perkataan beliau tersebut. Mungkin ada hubungannya dengan syuting film itu? Atau dengan kelima mahasiswa yang masih belum ditemukan itu? Entahlah. Yang pasti itu adalah Pantai Selatan!
***
Perjalanan kali ini aku bersama adik angkatan Geografi, amanah sebagai asisten dosen mengharuskan aku mengikuti perjalanan ini. Perjalanan Bandung-Garut termasuk perjalanan panjang, sebelumnya keadaan masih baik-baik saja, namun setelah masuk ke rute istimewa baru beberapa mahasiswa yang se-bus bersama akuharus merasakan sensasi mabuk darat.
Malam hari baru kami tiba di tujuan. Basecampnya terletak tepat di pinggiran pantai.Esok paginya baru mulai menikmati indahnya tempat penginapan kami. Pagi itu,fajar juga menyingsing dari pantai sebelah timur. Fajar muncul dari riak ombak itu sangat menggoda, jongkok di antara padang lamun dan terumbu karang, mencium segarnya aroma lautan dan merasakan sensasi hempasan butiran air dari sang ombak.
Teknis praktikumnya, mahasiswa disebar ke beberapa plot sesuai dengan, aku sendiri masuk ke plot bagian barat. Dengan menggunakan pick-up, kami melewati jalan yang rusak parah. Daribasecamp Desa Cijambe menuju plot di Desa Karangwangi memakan waktu 2 jam lebih. Sepanjang perjalanan Pak Gungun yang menjadi supir, banyak bercerita mengenai tempat yang kami lewati.
Diceritakan mulai dari pantai yang merupakan tempat penginapan kami yaitu Pantai Cikelet, kemudian ada Pantai Keputihan yang ada di Desa Cigadog, tak jauh dari jembatan Cicalengka ada Pantai Karangsari yang mempunyai gua, selanjutnya Pantai Cijayana, Pantai Cicalobak yang sudah dilengkapi dengan fasilitas wisata begitu juga dengan Pantai Puncak Guha dan Pantai Rancabuaya. Pantai Karangsari, salah satu pantai yang ada guanya diberi nama Guha Mekmek disebut demikian karena pintu guanya dikatakan mirip dengan alat vital wanita. Gua tersebut pernah beberapa kali dijadikan tempat syuting film, dan juga reality show sebut saja Dunia Lain. Dijadikan tempat syuting, karena diyakini tempat tersebut terkesan mistis dan memang ada ‘penghuni’nya.
Pembicaraan dengan beliau masih berlanjut, sampai 5 tiang tinggiyang berdiri di sisi tebing itu dilewati, ada sebuah tugu berupa nisan di tengahnya. Diceritakan, bahwa tempat tersebut dijadikan sebagai tugu mahasiswa yang hilang. Dari 9 kawanan dalam 1 kelompok, 5 diantaranya hilang tidak tahu entah dimana. Kejadian tersebut berlangsung sekitar 4 bulan yang lalu. Kesan ‘kidulan’ semakin tersirat dari cerita beliau.
Selagi mereka praktikum, aku langsung menuju salah satu pantai. Pantai Ranca Buaya-lah yang akhirnya aku kunjungi karena itu yang terdekat. Perahu nelayan berbaris rapi di pinggir pantai, saung-saung kecil berdiri menghadap laut, pohon palem dan kelapa berdiri tegak hingga miring, meneduhkan saung. Sementara pasir tertutupi oleh tumbuhan yang menyebar menjalar. Ciri khas Pantai Ranca Buaya ini adalah karang-karangnya yang bentuknya beranekaragam dan unik. Salah satunya ada yang dinamakan batu jamur, karena bentuknya, itu dikarenakan pengikisan oleh ombak terhadap dinding batu tersebut sehingga membentuk jamur.
Selang beberapa jam, pengambilan data ke lapangan telah selesai. Segera kami menjemput untuk segera pulang ke basecamp. Tetapi, sebelum kami langsung terjun pulang, Pak Gungun mengajak kami terlebih dahulu untuk bermain ke pantai lainnya. Adalah gapura bertuliskan “Selamat Datang di Tempat Wisata Puncak Guha” dengan siluet kelelawar di sebelahnya.
Kami melewati gapura itu, dan terhamparlah padang rumput yang hijau di hadapan kami, lengkap dengan kambing-kerbau yang sedang bersantai diatasnya. Sesampainya ke dalam, kita disajikan pemandangan yang luar biasa indah. Ceritanya kita sedang berada di tempat yang tinggi, ada padang rumput di sebelah Utara, kemudian menghadap ke Timur ada jajaran pantai dihiasi ombak yang saling berkejaran, ke arah Selatan adalah Samudera Hindia, dan diujung tebing itu ada saung kecil yang membuat tempat ini semakin menarik. Tapi aku sendiri masih bingung kenapa ini dinamakan Pantai Puncak Guha, sebelum kemudian Pak Gungun yang ngomong, “Neng, ka handap neng, aya guha (Neng, ke bawah neng, ada gua).”
Langsung saja aku bersama teman-teman lainnya ke bawah, ke arah yang ditunjuk oleh beliau, dan Wah! Karena tenaga ombak yang sangat kuat, pengikisan itu membuat lubang besar dan pengikisan yang menghantam bagian yang lemah kemudian mengalami runtuhan, tebentuklah lubang alami itu. Ternyata guanya hanya merupakan sebuah lubang vertikal kira-kira berdiameter 5 meter sedalam , ketika menilik, kita dapat melihat langsung hempasan ombak yang menerobos hingga ke dalam gua. Selain itu, ada banyak lalay, yaitu kelelawar kecil yang beratraksi di dalam gua yang menyisakan bau guano yang menusuk. Ingin rasanya melakukan rappeling(teknik turun tali) disitu. Edisi kidulan hari ini selesai.
Esoknya, kita mulai bersiap-siap menyapa Pantai Selatan lainnya. Akhirnya kami tiba di Pantai Santolo. Disebut Pantai Santolo karena adanya pulau yang ada di seberang daratan. Hanya perlu membayar Rp. 2.000,- untuk sampai ke pulau itu dengan menggunakan perahu nelayan karena jaraknya yang dekat. Sekat kecil antara daratan dan pulau tersebut diisi dengan barisan perahu nelayan, dan ada gundukan-gundukan batu yang digunakan sebagai pemecah ombak memanjang disitu. Setelah melewati warung-warung kecil baru kami sampai di pantai luas dengan matahari yang terik. Keadaan pantai yang ramai pengunjung membuat kami ingin segera bermain di air itu. Pantai Santolo tak seperti pantai lainnya di Garut Selatan, boleh dibilang ini sudah cukup terkenal, sehingga ramai dengan pedagang dan juga pengunjung, selain itu disini dapat menikmati wahana salah satunya banana boat.
Selesai dari Pantai Santolo, Pantai Karang Paranye menunggu. Sedikit cerita mengenai Pantai Karang Paranye. Pak Gungun mengatakan bahwa dulunya pernah dilakukan ritual Pantai Selatan di Karang Paranye, ritual semacam memberi persembahan ke tengah laut itu ternyata pernah diadakan disini. Bisa dibilang kalau di pantai ini lebih kuat kesan penguasa Pantai Selatan-nya.
Di Pantai Karang Paranye kita diberikan pemandangan lain, yaitu ombak yang benar-benar tinggi dan kuat yang menghempas karang besar, lagi-lagi, disini ada saung kecil yang berdiri diatas karang besar, sementara para pemancing duduk tersebar di atas karang-karang itu. Setelah dari situ, kami lanjut ke Pantai Sayang Heulang.

Itulah pantai-pantai yang menghias Garut Selatan, dan masih banyak lagi, yang pastinya masih melekat kuat bersama Ratu Selatan sang penguasa Pantai Selatan dengan segala keindahannya. 
***
Sun rise di Pantai Cikelet

Pemancing di Pantai Karang Paranye

Pantai Karang Paranye

Pantai Ranca Buaya

Pantai Sayang Heulang



Gua di Pantai Puncak Guha
Pantai Cikelet


Ombak Pantai Santolo


biota laut

Karang di Pantai Ranca Buaya

Ber-banana boat di Pantai Santolo

Pantai Puncak Guha