Taman
Kanak-Kanak umumnya adalah wahana untuk belajar dan bermain siswanya, sekolah
memberikan fasilitas untuk melengkapinya.
TK TUNAS KARYA
Berada
di Jl. Makarti no.10 RT.12 Desa Bukit Harum, Kec. Menthobi Raya, Kab. Lamandau,
Kalimantan Tengah, TK Tunas Karya berada. Ketika itu saya sedang mengantarkan
sepupu untuk sekolah di tempat tersebut. Setelah melewati jalanan yang berupa
gundukan tanah merah, banyak lubang dan sangat berdebu, saya tiba di tempat
tersebut. TK itu hanya terdiri dari satu ruangan, dan halaman depan yang tidak
terlalu luas dan tanpa wahana bermain apapun. Ruangan kelas sendiri terdiri
dari dua kelas yang hanya diberi sekat berupa papan triplek untuk memisahkan kelas nol kecil dan nol besar.
Untuk standar TK yang notabene disebut sebagai Taman Bermain, TK ini masih
sangat jauh dari bagaimana gambaran dan kenyataan TK yang seperti biasanya.
Palu
dan plat besi dikeluarkan oleh Ibu Guru dan kemudian menghasilkan bunyi yang
cukup dikenal anak-anak tersebut sebagai sinyal agar dimulainya pelajaran.
Sedikit terkejut juga, alat berat semacam itu digunakan sebagai media di
sekolah. Kelas telah dimulai tetapi orangtua murid dengan sekenanya keluar
masuk ruangan, ada anak yang selalu didampingi oleh ibunya, ada anak yang sibuk
menikmati es di kedua tangannya, ada anak yang sibuk keluar masuk kelas, ada
anak yang naik turun dari kursi ke meja, dan sebagiannya masih bisa
mengendalikan dirinya untuk belajar.
Setelah sekitar
10menit saya tidak melihat adanya keberadaan Guru TK Nol Kecil, selama itu saya
melihat Guru TK Nol Besar sibuk bolak-balik masuk ruangan nol kecil, kemudian
kembali lagi ke nol besar. Sedikit tergerak melihat keadaan tersebut, saya
memutuskan untuk menawarkan bantuan kepada Ibu Guru yang sedang riweuh. “Ya, ya, silahkan mbak!” Jawab
beliau tanpa pikir panjang, dengan pikiran yang terbagi-bagi tentunya.
Tidak
sempat melakukan perkenalan, hanya melanjutkan apa yang sedang ditugaskan
beliau kepada para murid. Saya ternyata belum siap untuk melakukan pengajaran
di ruangan itu, suara saya tidak cukup kuat untuk melampaui suara anak-anak di
kelas saya, suara anak-anak dari kelas sebelah dan suara Ibu Santi sendiri.
“Mbak Guru, tadi bilangnya apa?”, sahut salah satu anak bernama Jamal. Terpaksa
saya harus mendatangi satu persatu murid dan agak sulit juga karena dalam satu
bangku panjang ada lima murid, dan sebagian masih sibuk bermain. Saya
mendatangi salah satu anak dan coba mengajarkan bagaimana bentuk angka 2, tetapi
untuk memegang alat tulisnya juga si anak keberatan “moh !(yang artinya tidak mau!)” sahutnya dengan suara lantang, meletakkan
alat tulisnya dan kembali menghabiskan jelly beku di tangannya.
Setengah
jam kemudian Ibu Santi menyuruh agar membubarkan kelas karena waktunya
istirahat. Bermain kejar-kejaran dan bermain bola di lapangan di depan Kantor
Kepala Desa yang sedang dibangun, hanya itulah permainan yang dapat dilakukan
anak-anak tersebut. Walaupun demikian, mereka sangat menikmatinya. Di sela-sela
istirahat, Ibu Winda datang setelah menyelesaikan urusannya dan beberapa menit
kemudian, seorang bapak pengawas sekolah bergabung dalam percakapan kami.
Ucapan terimakasih dari Ibu Winda karena
sudah turut membantu pada jam pertama tadi, dan pada jam kedua saya juga masih
bisa bekerjasama dengan beliau.
Dalam
percakapan dengan kedua Guru dan Bapak pengawas, ternyata Ibu Winda masihlah
seorang honorer sejak 7 tahun yang lalu telah mengabdi di sekolah ini
dikarenakan hanya lulusan SMP. “Ya, ngga apa-apa mba, kita dipake syukur, ya
ngga di pake juga ngga apa-apa,”sahut Ibu Winda ketika saya menanyakan bagaimana
jika Guru yang sarjana dan berkompeten ditempatkan disini nantinya. Sedangkan
Ibu Santi sudah PNS dan merupakan lulusan Pendidikan Agama Katolik. Bapak
pengawas juga menambahkan, “Sekarang semuanya berlomba untuk hidup di kota
besar, sehingga pendidikan di tempat seperti ini tidak banyak berkembang, hanya
seperti itu dari dulu. Mba, nanti kalau udah selesai kuliahnya di Jawa, datang
kesini aja Mba. Nanti dapat surat rekomendasi untuk mengajar disini,
he..he..”timpal beliau.
Itu adalah
contoh kecil bagaimana potret pendidikan bangsa kita. Tidak dapat kita
pungkiri, bahwa pendidikan Indonesia masihlah mengambang, mulai dari kurikulum,
tenaga pendidik, dan lain sebagainya. Banyak tempat yang sangat perlu perhatian
khususnya di bidang pendidikan. Theodore Brameld (1965) menegaskan bahwa
pendidikan nasional merupakan suatu kekuatan.
Begitu seterusnya saya lakukan rutinitas selama seminggu di
Kab. Lamandau, sebagai Mbak Guru kepada adik-adik saya yang pintar dan cerdas.
Ketika sebelumnya mereka belum tau cara minta maaf dan memaafkan teman, ketika
sebelumnya mereka belum diajarkan cara menarik untuk diam yaitu melakukan tepuk
diam, ketika sebelumnya mereka masih terlalu malu untuk bercerita kedepan
kelas, ketika sebelumnya mereka terlalu segan untuk mengucapkan terimakasih.
Terimakasih Tuhan, karena engkau menuntunku kesini. Semoga mereka menjadi
generasi bangsa yang berbakti kepada bangsa dan negaranya.***suasana belajar |
suasana bermain |
bermain sambil belajar |
mba guru bersama murid |
Ibu Santi |
ruangan kelas |
TK Tunas Karya |