Sudah bukan hal
baru lagi tentang keberagaman dan keindahan bentang alam Indonesia. Dari
gunung, dataran, laut hingga di bawah permukaan bumi, Indonesia banyak
menyimpan keindahan. Maka, tak jarang Indonesia dipilih sebagai tempat untuk
beristirahat sejenak, memulihkan lagi tenaga dan mengobati kelelahan pikiran
dengan dimanjakan oleh alamnya yang indah.
Walaupun tidak
tercatat sebagai negara dengan pengunjung wisatawan tertinggi, namun kerusakan
dan pencemaran yang terjadi di tempat-tempat wisata di Indonesia akibat
wisatawan yang berkunjung tergolong tinggi.
Sampai kapan
kita akan menikmati edelweiss di ketinggian gunung?
Sampai kapan
kita akan menikmati hijaunya gunung?
Sampai kapan kita
akan menikmati ornamen gua di bawah tanah?
Sampai kapan
kita akan menikmati pemandangan biru laut?
Sampai kapan
kita akan berenang bersama ikan badut dan koral cantik di dasar laut?
Benar, hanya
waktu yang bisa menjawab. Namun, prediksi bisa saja berlaku ketika mereka yang
bangga dengan sebutan pendaki gunung membawa kecantikan abadi dari puncak. Maka,
bisa dipastikan Edelweiss tidak perlu waktu yang lama untuk hilang karena di
beberapa tempat keberadaannya kini sudah tergolong punah. Janganlah merasa
bangga apabila mengoleksi keindahan yang hanya tumbuh di dataran tinggi
tersebut terkurung di dalam ruanganmu. Biarlah dia tetap disana, biarlah dia
tetap menjadi pelipur lara bagi lelah pendaki yang berjalan letih menuju
puncak. Biarlah Edelweiss tetap ada, hingga anak cucu juga dapat menikmatinya
dan tidak bingung seperti apa rupanya.
Ketika membawa
bekas makanan menjadi beban, maka pilihannya adalah membuang sampah
sembarangan. Mungkin, bukan menjadi masalah besar apabila membuangnya masih di
tempat yang gampang dijangkaunya. Namun, ketika sampah yang dibuang dan
kemudian menumpuk di ketinggian gunung, siapa yang mau membawanya turun? Dibakar
akan menimbulkan masalah lain.
Itulah yang
menjadi masalah besar di gunung-gunung Indonesia. Tampaknya, para pendaki lebih
senang membawa bungkus bersama rotinya daripada membawa bungkus roti yang
kosong. Padahal jelas lebih berat membawa serta rotinya. Perlu kesadaran dari diri
sendiri untuk tidak membuang sampah di gunung.
Adalah hubungan
sinkron ketika semakin terkenalnya suatu gunung, maka semakin banyak pengunjungnya,
dan semakin banyak pula sampah yang menggunung disitu. Baru kemudian sadar
apabila yang dikunjungi sudah bukan rupa gunung hijau lagi melainkan gunung
sampah. Selain sampah bekas makanan
ternyata sampah kotoran manusia yang dimasukkan ke dalam botol atau plastik
juga manjamur di gunung. Merupakan hal yang salah apabila kencing ke dalam botol
terus membuangnya, ketahuilah bahwa alam dapat menguraikan kotoran, jadi
membuang kotoran langsung ke tanah bukan merupakan masalah besar. Namun, ketika
air kencing dimasukkan ke dalam botol yang tertutup rapat, bagaimana alam dapat
menguraikannya? Siapa pula yang hendak membuka tutup botol bekas kencing?
Konservasi atau
menggali untuk bertahan hidup? Ini yang sangat sulit ketika dihadapkan pada
sebuah pilihan. Bentang alam karst yang menyimpan keindahan di dalam gua,
menjadi pekerjaan yang sulit untuk dijaga ketika setiap bongkahannya itu diberi
harga. Kawasan karst di Padalarang, Jawa Barat kini mencapai klimaksnya. Ketika
truk-truk besar pengangkut batu granit beraksi, ketika kuli-kuli penggali butuh
sesuap nasi, saat itu tidak ada istilah konservasi. Bukit kapur yang dulu
pernah dikunjungi pun kini rata dengan tanah. Pemanfaatan lah yang harus di
ganti. Ketika kawasan karst dijadikan sebagai tempat wisata, dan warga bisa
bekerja, maka niat menggali pun bisa disingkirkan.
Indonesia terkenal
sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Masyarakat luar pun
banyak berkunjung ke Indonesia hanya untuk berjemur di pantai yang bersih,
hanya untuk berenang di laut yang biru. Namun, ketika itu sudah tak didapat
lagi? Siapa lagi yang mau melihat pantai?
Limbah akan
tetap menjadi limbah apabila berujung ke laut. Limbah yang akan membuat laut
biru menjadi menghitam. Limbah tak harus dibuang, diolah kemudian dimanfaatkan
menjadi sesuatu yang lain akan lebih berguna dan tetap mempunyai arti ekonomis.
Hindari pembunuhan lebih banyak lagi biota laut, hindari penggunaan bahan
beracun untuk menangkap sumber laut, hindari pembuangan limbah ke laut.
Hal yang miris
terlihat ketika mengunjungi salah satu pulau di Indonesia. Pulau biru tersebut
sangat terkenal keindahan bawah lautnya. Karena keindahannya, orang
berbondong-bondong untuk datang melihatnya. Namun, kedatangan yang sangat
diharapkan oleh para masyarakat dan pengelola wisata ternyata memberi dampak
buruk terhadap biotanya. Demi mempunyai foto dalam laut bersama ikan-ikan yang
cantik, karang pun menjadi korbannya. Tidak sedikit karang yang mati terinjak
karena pengunjung yang tidak bisa berenang maka memilih memijak karang saja. Biota
yang tinggal di karang tersebut pun pasti pindah sehingga tak ada lagi keindahan
sebuah karang nantinya.
Menikmati tanpa
konservasi adalah menunggu edellweiss
tidak ada lagi, menunggu gunung tak hijau lagi, menunggu gua hancur menjadi
bongkahan batu, menunggu laut tak biru lagi, menunggu ikan tak ada lagi. Ya, menunggu
alam untuk mati.
Dampak-dampak
di atas bisa kita hindari apabila kita segera sadar dan segera melakukan hal yang
seharusnya kita lakukan, seperti melindungi dan menjaga kelestarian alam. Lakukan
kegiatan konservasi dimulai dari diri sendiri dan dukung kegiatan konservasi dalam
The Nature Conservancy Program Indonesia. Semoga kelestarian Indonesia tetap
terjaga. Salam hijau!
0 komentar:
Posting Komentar