Minggu, 18 Januari 2015

MENIKMATI TANPA KONSERVASI ADALAH MENUNGGU UNTUK MATI

Sudah bukan hal baru lagi tentang keberagaman dan keindahan bentang alam Indonesia. Dari gunung, dataran, laut hingga di bawah permukaan bumi, Indonesia banyak menyimpan keindahan. Maka, tak jarang Indonesia dipilih sebagai tempat untuk beristirahat sejenak, memulihkan lagi tenaga dan mengobati kelelahan pikiran dengan dimanjakan oleh alamnya yang indah.
Walaupun tidak tercatat sebagai negara dengan pengunjung wisatawan tertinggi, namun kerusakan dan pencemaran yang terjadi di tempat-tempat wisata di Indonesia akibat wisatawan yang berkunjung tergolong tinggi.
Sampai kapan kita akan menikmati edelweiss di ketinggian gunung?
Sampai kapan kita akan menikmati hijaunya gunung?
Sampai kapan kita akan menikmati ornamen gua di bawah tanah?
Sampai kapan kita akan menikmati pemandangan biru laut?
Sampai kapan kita akan berenang bersama ikan badut dan koral cantik di dasar laut?
Benar, hanya waktu yang bisa menjawab. Namun, prediksi bisa saja berlaku ketika mereka yang bangga dengan sebutan pendaki gunung membawa kecantikan abadi dari puncak. Maka, bisa dipastikan Edelweiss tidak perlu waktu yang lama untuk hilang karena di beberapa tempat keberadaannya kini sudah tergolong punah. Janganlah merasa bangga apabila mengoleksi keindahan yang hanya tumbuh di dataran tinggi tersebut terkurung di dalam ruanganmu. Biarlah dia tetap disana, biarlah dia tetap menjadi pelipur lara bagi lelah pendaki yang berjalan letih menuju puncak. Biarlah Edelweiss tetap ada, hingga anak cucu juga dapat menikmatinya dan tidak bingung seperti apa rupanya.
Ketika membawa bekas makanan menjadi beban, maka pilihannya adalah membuang sampah sembarangan. Mungkin, bukan menjadi masalah besar apabila membuangnya masih di tempat yang gampang dijangkaunya. Namun, ketika sampah yang dibuang dan kemudian menumpuk di ketinggian gunung, siapa yang mau membawanya turun? Dibakar akan menimbulkan masalah lain.
Itulah yang menjadi masalah besar di gunung-gunung Indonesia. Tampaknya, para pendaki lebih senang membawa bungkus bersama rotinya daripada membawa bungkus roti yang kosong. Padahal jelas lebih berat membawa serta rotinya. Perlu kesadaran dari diri sendiri untuk tidak membuang sampah di gunung.
Adalah hubungan sinkron ketika semakin terkenalnya suatu gunung, maka semakin banyak pengunjungnya, dan semakin banyak pula sampah yang menggunung disitu. Baru kemudian sadar apabila yang dikunjungi sudah bukan rupa gunung hijau lagi melainkan gunung sampah.  Selain sampah bekas makanan ternyata sampah kotoran manusia yang dimasukkan ke dalam botol atau plastik juga manjamur di gunung. Merupakan hal yang salah apabila kencing ke dalam botol terus membuangnya, ketahuilah bahwa alam dapat menguraikan kotoran, jadi membuang kotoran langsung ke tanah bukan merupakan masalah besar. Namun, ketika air kencing dimasukkan ke dalam botol yang tertutup rapat, bagaimana alam dapat menguraikannya? Siapa pula yang hendak membuka tutup botol bekas kencing?
Konservasi atau menggali untuk bertahan hidup? Ini yang sangat sulit ketika dihadapkan pada sebuah pilihan. Bentang alam karst yang menyimpan keindahan di dalam gua, menjadi pekerjaan yang sulit untuk dijaga ketika setiap bongkahannya itu diberi harga. Kawasan karst di Padalarang, Jawa Barat kini mencapai klimaksnya. Ketika truk-truk besar pengangkut batu granit beraksi, ketika kuli-kuli penggali butuh sesuap nasi, saat itu tidak ada istilah konservasi. Bukit kapur yang dulu pernah dikunjungi pun kini rata dengan tanah. Pemanfaatan lah yang harus di ganti. Ketika kawasan karst dijadikan sebagai tempat wisata, dan warga bisa bekerja, maka niat menggali pun bisa disingkirkan.
Indonesia terkenal sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Masyarakat luar pun banyak berkunjung ke Indonesia hanya untuk berjemur di pantai yang bersih, hanya untuk berenang di laut yang biru. Namun, ketika itu sudah tak didapat lagi? Siapa lagi yang mau melihat pantai?
Limbah akan tetap menjadi limbah apabila berujung ke laut. Limbah yang akan membuat laut biru menjadi menghitam. Limbah tak harus dibuang, diolah kemudian dimanfaatkan menjadi sesuatu yang lain akan lebih berguna dan tetap mempunyai arti ekonomis. Hindari pembunuhan lebih banyak lagi biota laut, hindari penggunaan bahan beracun untuk menangkap sumber laut, hindari pembuangan limbah ke laut.
Hal yang miris terlihat ketika mengunjungi salah satu pulau di Indonesia. Pulau biru tersebut sangat terkenal keindahan bawah lautnya. Karena keindahannya, orang berbondong-bondong untuk datang melihatnya. Namun, kedatangan yang sangat diharapkan oleh para masyarakat dan pengelola wisata ternyata memberi dampak buruk terhadap biotanya. Demi mempunyai foto dalam laut bersama ikan-ikan yang cantik, karang pun menjadi korbannya. Tidak sedikit karang yang mati terinjak karena pengunjung yang tidak bisa berenang maka memilih memijak karang saja. Biota yang tinggal di karang tersebut pun pasti pindah sehingga tak ada lagi keindahan sebuah karang nantinya.
Menikmati tanpa konservasi  adalah menunggu edellweiss tidak ada lagi, menunggu gunung tak hijau lagi, menunggu gua hancur menjadi bongkahan batu, menunggu laut tak biru lagi, menunggu ikan tak ada lagi. Ya, menunggu alam untuk mati.

Dampak-dampak di atas bisa kita hindari apabila kita segera sadar dan segera melakukan hal yang seharusnya kita lakukan, seperti melindungi dan menjaga kelestarian alam. Lakukan kegiatan konservasi dimulai dari diri sendiri dan dukung kegiatan konservasi dalam The Nature Conservancy Program Indonesia. Semoga kelestarian Indonesia tetap terjaga. Salam hijau!

0 komentar:

Posting Komentar